Khotbah MTPJ GMIM 13-19 April 2025, Yohanes 19:16b-27, Tersalib Dengan Tulisan: Yesus Orang Nazaret Raja Orang Yahudi

31 Maret 2025 Tim Penulis
Yohanes 19:16b-27

Khotbah MTPJ GMIM 13-19 April 2025: Tersalib Dengan Tulisan: Yesus Orang Nazaret Raja Orang Yahudi

Khotbah MTPJ GMIM 13-19 April 2025 dari Yohanes 19:16b-27 mengajak kita merenungkan makna penyaliban Yesus dan tulisan yang terpasang di kayu salib-Nya. Memasuki Minggu Sengsara VI, kita diajak untuk merefleksikan ironi ilahi bagaimana di tengah penghinaan terdalam, justru terproklamasikan kebenaran tertinggi tentang siapa Yesus sesungguhnya, dan bagaimana ini memberikan kekuatan bagi iman kita di tengah dunia yang memuja kekuasaan dan kekayaan.

Minggu Sengsara VI

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan,saat ini kita merenungkan satu peristiwa yang menjadi pusat iman Kristen—penyaliban Kristus. Tetapi kita tidak hanya merenungkan tentang penderitaan Kristus saja melainkan kita juga akan merefleksiakan tulisan yang terpampang di atas kayu salib: "Yesus Orang Nazaret Raja Orang Yahudi." Tulisan yang nampaknya sederhana namun sesungguhnya penuh ironi ilahi, tulisan yang menyimpan makna yang jauh lebih dalam dari yang terlihat sekilas.

Dalam perikop saat ini Yohanes 19:16b-27 Kita melihat bagaimana Pilatus, yang telah menyerahkan Yesus untuk disalibkan, justru memerintahkan pemasangan tulisan yang mengakui status kerajaan dari Yesus Kristus. Betapa ironisnya! Tangan yang sama yang menandatangani perintah eksekusi juga menuliskan pengakuan atas kerajaan-Nya. "Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi"—tulisan dalam tiga bahasa yang membuat para imam kepala Yahudi sangat terganggu.

Sejarah mencatat bahwa penyaliban adalah hukuman paling memalukan di zaman Romawi. Pada akhir abad pertama ketika Injil Yohanes ditulis—sekitar tahun 90-100 M—komunitas Kristen mula-mula bergumul dengan identitas mereka di tengah perpecahan dengan komunitas Yahudi. Mereka berada dalam minoritas, sering dianiaya, dan butuh peneguhan. Dalam konteks inilah, Yohanes menekankan betapa tulisan di atas salib Yesus justru menjadi proklamasi kebenaran ilahi.

Coba bayangkan kekuatan yang tersembunyi dalam ironi ini. Di tengah kekalahan yang tampak, terpampanglah kemenangan. Di dalam penghinaan yang mendalam, tercantumlah kehormatan yang tinggi. Dalam tulisan yang terpahat di atas kepala Yesus yang berdarah, terbentanglah sebuah proklamasi kerajaan yang tidak mungkin dibatalkan.

"Apa yang kutulis, tetap tertulis," kata Pilatus ketika para imam kepala memintanya mengubah tulisan tersebut. Tanpa sadar, Pilatus menjadi corong kebenaran ilahi. Bukankah ini mengingatkan kita pada kebenaran yang lebih besar—bahwa apa yang Allah tetapkan, tidak seorangpun dapat membatalkannya? Bahwa ketika Allah menuliskan takdir keselamatan bagi umat manusia, tidak ada kuasa di dunia ini yang dapat mengubahnya?

Di tengah penderitaan yang mendalam, Yesus tetap adalah Raja. Bahkan ketika Ia tergantung di antara dua penjahat, ketika tubuh-Nya tersiksa oleh paku-paku kejam, ketika para prajurit membuang undi atas pakaian-Nya—Dia tetap Raja. Tulisan di atas salib-Nya tidak hanya menyatakan identitas-Nya pada masa itu, tetapi juga menyatakan kebenaran abadi tentang siapa Dia sepanjang segala zaman.

Saudara-saudari, lihat bagaimana para tokoh dalam narasi ini bersikap terhadap tulisan tersebut. Pilatus, dengan segala kekuasaannya, justru menjadi alat untuk menyatakan kebenaran. Para imam kepala, dengan segala kebencian mereka, justru memperlihatkan bahwa mereka sangat terganggu dengan pengakuan kerajaan Yesus. Para prajurit, dengan segala kekejaman mereka, justru menggenapi nubuat kuno ketika mereka membagi-bagi pakaian-Nya dan membuang undi atas jubah-Nya.

Jika kita melihat lebih dekat, kita akan menemukan bahwa di tengah penderitaan yang mendalam, Yesus tetap mengejawantahkan sifat-sifat kerajaan-Nya. Ia memperlihatkan kasih yang mendalam ketika Ia memikirkan ibu-Nya meskipun Ia sendiri bergumul dengan sakit luar biasa. "Ibu, inilah, anakmu!" dan kepada murid yang dikasihi-Nya, "Inilah ibumu!" Bahkan di ambang kematian, Raja kita tidak berhenti menjadi penyedia, pelindung, dan penyayang.

Pernahkah kita berpikir tentang bagaimana kata-kata sederhana ini menjadi jendela ke dalam hati Kristus? Pernahkah kita menyadari bahwa di saat-saat terberat dalam hidup-Nya, Yesus masih memikirkan kesejahteraan orang lain? Bahwa dalam kesakitan yang mendalam, Ia masih berbelas kasihan? Bahwa bahkan ketika Ia menanggung beban dosa dunia, Ia masih peduli pada kebutuhan praktis manusia?

Inilah Raja yang kita layani. Raja yang tidak duduk di singgasana emas, tetapi tergantung di kayu salib. Raja yang tidak mengenakan mahkota permata, tetapi mahkota duri. Raja yang tidak dikelilingi pengawal kerajaan, tetapi diejek oleh prajurit kasar. Raja yang tidak memamerkan jubah kerajaan, tetapi yang jubah-Nya diundi oleh para tentara.

Dalam dunia yang memuja kekuasaan dan kekayaan, tulisan di atas salib Yesus menyodorkan paradoks yang mengejutkan: Raja sejati adalah Dia yang rela menderita bagi rakyat-Nya. Raja sejati adalah Dia yang mengorbankan diri-Nya demi kebaikan orang lain. Raja sejati adalah Dia yang memiliki kerajaan yang tidak dimengerti oleh dunia.

Saudara-saudari, bagaimana kita mengaplikasikan kebenaran ini dalam kehidupan sehari-hari kita di Indonesia saat ini? Sama seperti tulisan di atas salib yang terlihat jelas oleh semua orang, demikian juga kesaksian hidup kita seharusnya menjadi proklamasi yang jelas tentang Raja yang kita layani.

Pertama, kita dipanggil untuk tidak seperti Pilatus dan imam-imam kepala, yang terfokus pada kekuasaan, jabatan, dan keuntungan ekonomi. Mereka memanfaatkan peristiwa penyaliban untuk menunjukkan kekuasaan mereka, tanpa peduli pada penderitaan yang ditimbulkan bagi orang lain. Di tengah masyarakat kita yang semakin materialistis, betapa sering kita juga tergoda untuk memanfaatkan kelemahan orang lain demi keuntungan pribadi!

Bayangkan sebuah salib dengan tulisan "Yesus Orang Nazaret Raja Orang Yahudi" terpampang di ruang tamu kita. Akankah hal itu hanya menjadi hiasan dinding, atau akan menjadi pengingat tentang kerajaan yang kita wakili? Akankah hal itu mengubah cara kita berbisnis, berpolitik, atau bahkan bermedia sosial?

Kedua, kita dipanggil untuk tidak seperti para prajurit, yang memanfaatkan ketidakberdayaan Yesus untuk mengambil keuntungan, tanpa setitik pun empati. Mereka membagi-bagi pakaian-Nya dan membuang undi untuk jubah-Nya, seolah-olah Dia hanyalah objek yang bisa dieksploitasi. Berapa banyak di antara kita yang dengan mudah mengeksploitasi mereka yang lemah? Berapa banyak di antara kita yang justru menambah penderitaan mereka yang sudah menderita?

Salib Kristus dengan tulisan kerajaan-Nya mengingatkan kita bahwa setiap manusia—tidak peduli seberapa lemah atau tidak berdaya—adalah seseorang yang berharga di mata Raja kita. Ketika kita mengabaikan orang terlantar di jalan, ketika kita memanfaatkan pekerja dengan upah rendah, ketika kita acuh tak acuh pada penderitaan sesama, kita bertindak seperti para prajurit yang membuang undi di kaki salib.

Ketiga, kita dipanggil untuk menjadi seperti ibu Yesus, saudara ibu-Nya, Maria istri Klopas, dan Maria Magdalena—yang setia berdiri di dekat salib meskipun itu berarti menanggung risiko. Mereka tidak meninggalkan Yesus di saat tergelap-Nya. Mereka tidak menyangkal hubungan mereka dengan-Nya ketika Dia menjadi orang buangan. Dalam masyarakat kita yang sering memandang rendah mereka yang kalah dan menderita, keberanian seperti ini sangatlah penting.

Bayangkan tubuh Kristus hari ini—gereja-Nya—yang sering terluka dan menderita. Apakah kita berdiri setia di dekatnya, atau kita malah menjauh karena takut dikaitkan dengan penderitaan? Apakah kita merangkul mereka yang tertindas, atau kita malah menghindar karena tidak ingin terlibat?

Keempat, kita dipanggil untuk menjadi seperti Yesus Kristus sendiri. Bahkan dalam penderitaan-Nya yang mendalam, Dia masih memikirkan orang lain. Dia masih peduli pada kesejahteraan ibu-Nya. Dia masih menunjukkan kasih kepada mereka yang ada di sekitar-Nya. Inilah tantangan terbesar kita: untuk menjadi seperti Raja kita, yang memiliki belas kasihan bahkan di tengah penderitaan pribadi kita.

Sebagai metafora, pikirkanlah sebuah lilin yang sedang terbakar. Semakin ia terbakar, semakin banyak cahaya yang ia berikan. Semakin ia menghabiskan dirinya, semakin terang ia bersinar. Bukankah ini gambaran dari Raja kita di salib? Dan bukankah ini juga gambaran dari bagaimana kita seharusnya hidup?

Saudara-saudari, dalam dunia yang penuh dengan pemimpin yang haus kekuasaan dan pengikut yang haus ketenaran, tulisan di atas salib Yesus tetap menjadi pengingat yang kuat: "Yesus Orang Nazaret Raja Orang Yahudi." Raja yang sejati adalah Dia yang rela direndahkan demi mengangkat orang lain. Raja yang sejati adalah Dia yang rela menderita demi kebaikan rakyat-Nya. Raja yang sejati adalah Dia yang kerajaan-Nya tidak dimengerti oleh dunia ini.

Tantangan praktis bagi kita hari ini adalah untuk memikul salib kita dengan berani, tanpa malu demi hidup adil, benar, dan kudus. Seperti Yesus yang tidak menyembunyikan identitas-Nya sebagai Raja meskipun Dia disalibkan, demikian juga kita tidak boleh menyembunyikan identitas kita sebagai pengikut-Nya meskipun dunia menolak kita.

Bayangkan sejenak bagaimana kehidupan kita akan berbeda jika kita benar-benar menghayati tulisan di atas salib itu. Bagaimana kita akan bertindak di tempat kerja jika kita ingat bahwa kita melayani Raja orang Yahudi? Bagaimana kita akan memperlakukan tetangga kita jika kita ingat bahwa kita mewakili Yesus dari Nazaret? Bagaimana kita akan menghadapi tantangan hidup jika kita ingat bahwa kita adalah rakyat dari kerajaan yang kekal?

Dalam masyarakat Indonesia yang semakin terpolarisasi, di mana perbedaan sering menjadi pemisah, salib Kristus dengan tulisannya justru menjadi jembatan. Tulisan itu ditulis dalam tiga bahasa—Ibrani, Latin, dan Yunani—agar semua orang dapat membacanya. Demikian juga, kasih Kristus melampaui semua batasan bahasa, suku, dan budaya.

Ketika kita memikul salib kita dengan berani, ketika kita hidup sebagai representasi Kerajaan Allah di dunia ini, kita tidak hanya memberitakan Raja kita dengan kata-kata, tetapi dengan seluruh hidup kita. Dan sebagaimana tulisan di atas salib menyatakan kebenaran tentang siapa Yesus sebenarnya, demikian juga hidup kita akan menyatakan kebenaran tentang Raja yang kita layani.

Saudara-saudari, hari ini kita dipanggil untuk tidak hanya mengetahui tulisan di atas salib, tetapi untuk hidup di bawah otoritas Raja yang tersalib. Kita dipanggil untuk menjadi bukti hidup bahwa "Yesus Orang Nazaret Raja Orang Yahudi" bukanlah sekadar tulisan sejarah, tetapi sebuah proklamasi yang mengubah hidup. Kita dipanggil untuk hidup sedemikian rupa sehingga dunia melihat kita akan memahami makna Salib dan akan percaya serta mengikuti-Nya.

Jadi, marilah kita memikul salib kita dengan berani, tanpa malu demi hidup adil, benar, dan kudus. Marilah kita menjadikan "memikul salib" sebagai gaya hidup kita, seperti yang dikatakan oleh Yesus sendiri dalam Matius 16:24, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku."

Dalam nama Yesus, Raja kita yang tersalib namun mulia, Amin.