Berbahagialah Orang Yang Diampuni Pelanggarannya Yang Dosanya Ditutupi! Mazmur 32:1-11

Khotbah Berdasarkan Mazmur 32:1-11
Saudara-saudara, di dunia yang sibuk ini, manusia berlomba mencari kebahagiaan. Ada yang mengejarnya melalui harta, pencapaian, atau pengakuan orang lain. Tapi Pemazmur membuka kitabnya dengan kalimat yang mengejutkan: "Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!" Kebahagiaan sejati, menurut Alkitab, bukan terletak pada apa yang kita raih, tapi pada apa yang kita terima: pengampunan. Bukan pada topeng yang kita kenakan, tapi pada kebenaran yang kita akui di hadapan Sang Pencipta.
Mazmur 32 bukan sekadar puisi religius. Ini teriakan lega dari seseorang yang pernah terkubur dalam kegelapan dosa, lalu merasakan cahaya kasih karunia. Daud, sang raja, penulis mazmur ini, tahu betapa pahitnya menyembunyikan kesalahan. Tulang-tulangnya mengering, tenaganya lenyap seperti uap di musim panas, karena ia memilih diam—sampai akhirnya ia berteriak, "Ya Tuhan, aku mengaku dosaku!"
Bayangkan beban yang diangkatnya saat pengakuan itu keluar. Seperti rantai yang terlepas dari kaki seorang tahanan, atau batu karang yang runtuh dari dada. Tapi mengapa begitu sulit bagi kita untuk mengakui kesalahan? Karena pengakuan menuntut kerendahan hati—mengakui bahwa kita rapuh, bahwa kita bukan pahlawan tanpa noda. Daud, sang pemenang Goliat, pun harus berlutut dan berkata, "Aku telah berbuat dosa." Inilah paradoks iman: kebahagiaan sejati dimulai ketika kita berhenti berpura-pura kuat.
Namun, saudaraku, pengampunan yang dialami Daud hanyalah bayangan dari karya agung yang kelak digenapi di Bukit Golgota. Yesus, Anak Daud yang tak bernoda, memikul seluruh beban yang seharusnya kita tanggung. Jika Daud menggambarkan kebahagiaan karena dosa-ditutupi, Yesus adalah Kain Penutup itu sendiri—Dia yang "menutupi" dosa kita bukan dengan daun ara, tapi dengan darah-Nya. Di Minggu Sengsara ini, kita diingatkan: mahkota duri di kepala-Nya adalah harga pengampunan kita. Penderitaan-Nya adalah jalan pemulihan kita. Salib mengubah narasi dosa: kita tak lagi terhukum, melainkan diadopsi sebagai anak-anak Allah.
Tapi di era di mana segala sesuatu bisa dikemas lewat layar—kita menghadapi tantangan unik. Media sosial mengajari kita untuk menyunting kehidupan: menyembunyikan kekacauan, menampilkan kesempurnaan. Kita bisa "mem-filter" wajah, hubungan, bahkan spiritualitas. Tindakan scroll yang tak berhenti menjadi ritual modern untuk mengalihkan hati dari pengakuan. Bukankah ini ironi? Teknologi yang seharusnya menghubungkan, justru menjadi tembok yang membuat kita semakin asing dari diri sendiri dan sesama. Kita bersembunyi di balik emoji, sementara dosa-dosa yang tak terakui menggerogoti jiwa seperti karat.
Gereja dipanggil untuk menjadi ruang aman di tengah budaya kepura-puraan ini. Sebagaimana Daud menulis mazmur ini untuk diajarkan kepada umat Israel, kita pun harus menciptakan komunitas yang mengizinkan orang berkata, "Aku bergumul. Aku jatuh. Aku butuh pertolongan." Bayangkan jika gereja bukan sekadar galeri pahlawan iman, tapi rumah sakit bagi jiwa-jiwa yang terluka. Pengakuan dosa bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah pertama menuju kekuatan sejati.
Namun, pertobatan bukanlah ritual sekali seumur hidup. Ia seperti nafas—terus-menerus. Setiap hari, kita berhadapan dengan pilihan: menyimpan atau melepaskan. Menutupi dengan dalih "jangan sampai merusak reputasi", atau membuka diri dalam terang kasih karunia. Tantangannya nyata: akankah kita memakai grup chat untuk saling menegur dalam kasih? Atau justru menjadikannya panggung untuk menyebar gosip? Bisakah kita memakai media sosial bukan untuk pamer kesalehan, tapi membagikan kisah nyata tentang pergumulan dan pemulihan?
Di tengah arus deras dunia digital, Mazmur 32 mengingatkan: kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam jumlah like atau followers, tapi dalam kepastian bahwa kita telah diampuni. Pengampunan ini bukanlah konsep abstrak. Ia berakar pada darah Kristus yang nyata, pada kubur yang kosong. Karena itu, jangan biarkan teknologi mencuri sukacita kita dengan ilusi kesempurnaan. Sebaliknya, pakailah ia sebagai alat untuk memperluas belas kasih—mengirim pesan dukungan, berbagi renungan, atau sekadar mengingatkan: "Tuhan tetap mengasihimu, apa pun yang terjadi."
Saudara-saudara, hari ini, mungkin ada di antara kita yang masih memikul beban kesalahan lama. Mungkin ada luka yang belum diakui, hubungan yang retak karena ego, atau kebiasaan yang diam-diam merusak. Dengarlah undangan Tuhan: "Akulah yang menghapus dosa pemberontakanmu oleh karena Aku sendiri, dan Aku tidak mengingat-ingat dosamu." Pengampunan sudah tersedia. Langkah pertama hanyalah berani jujur—di hadapan-Nya, dan mungkin di hadapan saudara seiman yang dipercaya.
Marilah kita hidup sebagai orang-orang yang bebas. Bukan bebas dari kesalahan, tapi bebas dari belenggu rahasia gelap. Seperti Daud yang menari di hadapan Tabut Perjanjian, biarlah hidup kita menjadi tarian syukur atas anugerah yang menutupi segala kegagalan. Di Minggu Sengsara ini, tataplah salib—di sana, dosa-dosa kita ditutupi oleh kasih yang tak terbatas. Dan di sanalah, di kaki salib itu, kita menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya: bukan karena kita sempurna, tapi karena kita dicintai dengan sempurna. Amin.