Khotbah-MTPJ

Menaklukkan Segala Pikiran Dalam Kristus Yesus, 2 Korintus 10:1-11

7 Maret 2025 Tim Penulis
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, bayangkanlah sejenak: hidup kita bagai sebuah medan pertempuran. Bukan perang dengan pedang atau senjata, tetapi pertarungan yang jauh lebih dahsyat—pertarungan di dalam pikiran.

Setiap hari, suara-suara dunia ini berbisik, menggoda, bahkan meneriakkan klaim-klaim yang bertentangan dengan kebenaran Kristus. Di tengah hiruk-pikuk itu, Rasul Paulus menyerukan panggilan yang radikal:

Ini bukan sekadar ajakan untuk berpikir positif, melainkan deklarasi perang terhadap setiap konsep, ideologi, dan kebohongan yang mencoba merampas kedaulatan Kristus dalam hidup kita.

Mari kita masuk ke dalam konteks jemaat Korintus. Tahun 55-56 M, Paulus menulis surat ini dari Makedonia, dengan hati yang mungkin masih berdarah setelah kunjungannya yang "menyedihkan" ke Korintus. Di sana, ia dihina. Mereka meragukan otoritasnya sebagai rasul, mengejek cara bicaranya yang dianggap lemah, bahkan membandingkannya dengan "rasul-rasul palsu" yang mahir dalam retorika Yunani. Bagi masyarakat Hellenistik yang mengagungkan kefasihan, Paulus dianggap tidak layak. Tapi di balik kritik itu, ada pertarungan yang lebih dalam: pertarungan antara kebenaran ilahi dan kebanggaan manusia. Paulus tidak membela diri dengan kata-kata indah, tapi dengan otoritas Kristus yang meruntuhkan "benteng-benteng" kesombongan intelektual dan pemikiran palsu.

Lihatlah, saudaraku—ketika Paulus berkata:

"Senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi" (2 Korintus 10:4)

ia sedang menggambarkan suatu realitas rohani. Benteng-benteng itu bukan sekadar tembok batu, melainkan sistem pemikiran yang mengakar: kesombongan yang menganggap manusia bisa menyelamatkan diri sendiri, ketidaktaatan yang menolak otoritas Allah, dan kebohongan yang menukar kebenaran dengan dusta. Hari ini, benteng-benteng itu masih ada. Mereka mungkin bernama relativisme—"kebenaran itu relatif"; materialisme—"hidup hanya tentang kekayaan"; atau individualisme—"aku tak butuh Tuhan." Setiap zaman punya bentengnya sendiri, dan kita dipanggil untuk meruntuhkannya dengan pedang Roh, yaitu Firman Allah.

Namun, bagaimana caranya? Paulus mengingatkan bahwa ini adalah pertempuran proaktif. Bukan sekadar menangkis serangan, tapi aktif mengisi pikiran dengan kebenaran Kristus. Bayangkanlah pikiran kita seperti kebun. Jika kita hanya mencabut rumput liar tanpa menanam bunga, tanah itu akan tetap gersang. Demikian pula, kita tak cukup hanya menolak pikiran negatif; kita harus menggantinya dengan Firman, doa, dan persekutuan yang membangun. Yesus sendiri memberi teladan di padang gurun. Saat Iblis menggoda dengan tawaran kekuasaan, kepuasan, dan mukjizat palsu, Ia merespons dengan Firman:

"Manusia hidup bukan dari roti saja…" (Matius 4:4).

Setiap kata-Nya adalah palu yang menghancurkan tipu muslihat si jahat.

Di minggu-minggu sengsara ini, kita diingatkan bahwa Yesus tak hanya menang atas pencobaan di padang gurun, tapi juga di Getsemani. Di sana, dalam pergumulan yang begitu dalam, Ia berseru:

"Janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki" (Matius 26:39).

Inilah puncak penaklukkan pikiran: menyerahkan kehendak manusia kepada kehendak Bapa. Ketaatan-Nya membuka jalan bagi kita untuk meruntuhkan benteng dosa dan hidup dalam pembaruan pikiran. Pengorbanan-Nya di kayu salib bukan sekadar membayar hutang dosa, tapi juga memampukan kita untuk "memiliki pikiran yang terdapat dalam Kristus Yesus" (Filipi 2:5).

Saudara-saudari, tantangan kita hari ini mungkin lebih kompleks. Jika dulu jemaat Korintus bergumul dengan pengaruh filsafat Yunani, kita hidup di era di mana informasi mengalir deras seperti banjir bandang. Media sosial, algoritma, dan konten digital membentuk cara kita berpikir, seringkali tanpa kita sadari. Setiap scroll, setiap notifikasi, adalah bisikan halus yang bisa mengikis iman atau menguatkan kebenaran. Seorang filsuf pernah berkata, "Berikan aku kontrol atas media, dan aku akan mengontrol pikiran suatu bangsa." Tetapi kita, umat Kristus, memiliki standar yang lebih tinggi:

"Ujilah segala sesuatu, peganglah yang baik" (1 Tesalonika 5:21).

Menaklukkan pikiran berarti menjadi penyaring yang aktif—bukan konsumen pasif.

Lihatlah seorang nelayan yang membersihkan jaringnya dari sampah dan rumput laut agar bisa menangkap ikan yang baik. Demikianlah kita harus membersihkan pikiran dari "sampah" dunia—gosip yang merusak, teori konspirasi yang memecah-belah, atau hiburan yang merendahkan nilai kekudusan. Namun, ingatlah: ini bukan ajakan untuk mengurung diri dalam menara gading. Justru, kita hadir di tengah dunia sebagai terang, dengan pikiran yang telah ditawan oleh Kristus. Seperti Paulus yang masuk ke Areopagus—pusat pemikiran Athena—kita dipanggil untuk mengonfrontasi kebudayaan zaman ini dengan kebenaran yang mengubah.

Tapi bagaimana praktiknya?

Pertama, isi pikiran dengan Firman. Seperti seorang prajurit yang melatih ototnya setiap hari, kita perlu membaca, merenungkan, dan menghafal ayat Alkitab setiap hari.

Kedua, berdoa tanpa henti. Doa adalah nafas yang menyatukan pikiran kita dengan kehendak Allah.

Ketiga, berjemaat. Persekutuan dengan saudara seiman adalah cermin yang membantu kita melihat celah-celah pikiran yang belum ditaklukkan.

Keempat, berani mematikan suara dunia. Kadang, kita perlu "puasa digital"—menjauh sejenak dari gawai untuk mendengar suara Allah yang lembut.

Akhirnya, ingatlah: pertempuran ini bukan dengan kekuatan kita. Paulus, yang dianggap lemah oleh jemaat Korintus, justru bersukacita dalam kelemahannya "supaya kuasa Kristus turun menaungi aku" (2 Korintus 12:9). Di saat kita merasa kewalahan oleh pikiran yang gelap, ingatlah bahwa Roh Kudus ada di dalam kita—Roh yang membangkitkan Kristus dari kematian, dan yang sanggup menghidupkan pikiran kita yang mati oleh dosa.

Maka, di minggu-minggu sengsara ini, ketika kita mengenang darah Kristus yang tercurah, mari kita serahkan setiap pikiran kepada-Nya. Biarlah salib menjadi pusat dari setiap logika, setiap impian, setiap keputusan kita. Sebab, hanya dalam penaklukkan diri kepada Kristus, kita menemukan kebebasan sejati—bebas dari belenggu pikiran yang menghancurkan, dan hidup dalam kebenaran yang memuliakan Dia.

"Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan…" (2 Korintus 4:5).

Biarlah ini menjadi nyata dalam pikiran, perkataan, dan hidup kita.

Amin.