Yesus Memberitakan Kematian-Nya, Paradoks dari Kemuliaan melalui Pengorbanan, Yohanes 12:20-36, Renungan MTPJ 30 Maret-05 April 2025
Saudara-saudari yang dikasihi dalam Kristus,
Perikop yang kita baca terjadi pada saat yang sangat dramatis dalam kehidupan Yesus. Ia baru saja memasuki Yerusalem dengan disambut sebagai raja. Orang-orang bersorak-sorai "Hosana!" dan melambai-lambaikan daun palem. Suasana penuh sukacita dan harapan. Namun, dalam percakapan ini, Yesus justru mulai berbicara tentang kematian-Nya.
Perhatikan konteksnya: ada orang-orang Yunani yang ingin bertemu dengan Yesus. Mereka adalah orang-orang bukan Yahudi yang datang ke Yerusalem selama perayaan Paskah. Mungkin mereka adalah "orang-orang yang takut akan Allah"—orang-orang bukan Yahudi yang tertarik pada Yudaisme tetapi belum sepenuhnya menjadi proselit.
Mengapa kedatangan mereka begitu penting? Karena ini menandakan bahwa pengaruh Yesus telah melampaui batas-batas Yudaisme. Dunia mulai memperhatikan. Bangsa-bangsa mulai tertarik. Dan bagi Yesus, ini adalah tanda bahwa "saatnya telah tiba."
"Saat" ini bukan hanya tentang kematian-Nya, tetapi tentang tujuan utama kedatangan-Nya ke dunia. Ia datang untuk mati, dan melalui kematian-Nya, Ia akan menghasilkan buah yang berlimpah. Ia akan menarik semua orang kepada-Nya.
Inilah paradoks dari Injil: kemuliaan melalui kematian. Kehidupan melalui pengorbanan. Ketika biji gandum tetap di atas rak, ia tetap aman, utuh, dan terlindungi—tetapi juga mandul dan tidak berguna. Ketika biji gandum jatuh ke tanah, ia "mati"—kulitnya pecah, identitasnya sebagai biji hilang—tetapi dari kematian itu muncul kehidupan yang baru dan berlimpah.
Yesus menghadapi pilihan: Ia bisa menghindari salib dan tetap "utuh," atau Ia bisa menyerahkan diri-Nya, mati, dan menghasilkan buah keselamatan bagi banyak orang. Ia memilih yang kedua.
Ini bertentangan dengan logika dunia yang menghargai keamanan, kekuasaan, dan preservasi diri di atas segalanya. Dunia berkata, "Selamatkan dirimu!" Yesus berkata, "Korbankan dirimu!"
Namun, di balik paradoks ini terdapat kebijaksanaan ilahi. Kematian Yesus bukanlah kekalahan, melainkan kemenangan. Pengorbanan-Nya bukanlah kehilangan, melainkan pemerolehan. Salib bukanlah akhir, melainkan permulaan.
Saudara-saudari yang terkasih,
Yesus melanjutkan dengan sebuah prinsip yang berlaku bagi semua pengikut-Nya: "Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal."
Apa artinya "mencintai nyawa"? Ini bukan tentang apresiasi yang sehat terhadap kehidupan, tetapi tentang menjadikan keamanan dan kesenangan diri sebagai prioritas utama. Itu berarti hidup egois, menolak untuk berkorban, dan mengejar keinginan duniawi di atas kehendak Allah.
Sebaliknya, "tidak mencintai nyawa" berarti rela menyerahkan keinginan kita pada kehendak Allah. Itu berarti hidup dengan prioritas yang benar—mengutamakan Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya. Itu berarti mengambil salib kita dan mengikuti Kristus.
Perhatikan jaminan ganda: kita akan bersama Kristus, dan kita akan dihormati oleh Bapa. Meski jalan pemuridan sulit dan menuntut pengorbanan, kita tidak berjalan sendirian, dan pengorbanan kita tidak sia-sia.
Saudara-saudara, Yesus kemudian mengungkapkan pergumulan-Nya: "Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Bapa, muliakanlah nama-Mu!"
Meski Injil Yohanes tidak mencatat peristiwa Getsemani, ayat ini mengungkapkan bahwa Yesus benar-benar bergumul dengan prospek penderitaan yang akan Ia hadapi. Ia tidak kebal terhadap rasa takut atau kengerian menghadapi salib. Namun, Ia memilih untuk menaati Bapa, bahkan ketika ketaatan itu sangat mahal harganya.
Dan Bapa menjawab: "Aku telah memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi!" Suara dari surga ini mengkonfirmasi bahwa jalan yang dipilih Yesus—jalan pengorbanan dan ketaatan—adalah jalan yang benar.
Kematian Yesus bukan hanya peristiwa lokal yang terjadi di luar Yerusalem pada hari Jumat yang bersejarah. Ini adalah peristiwa kosmis dengan implikasi universal. Melalui salib:
- Dunia dihakimi. Salib mengungkapkan keberdosaan manusia dan kebutuhan kita akan keselamatan.
- Penguasa dunia ini (Setan) dikalahkan. Di salib, Yesus menghancurkan kuasa dosa dan maut.
- Semua orang ditarik kepada Kristus. Salib menjadi magnet spiritual yang menarik orang dari segala bangsa.
Frasa "ditinggikan dari bumi" memiliki makna ganda. Secara fisik, Yesus akan ditinggikan di kayu salib. Secara spiritual, Ia akan ditinggikan dalam kemuliaan. Yang pertama adalah jalan menuju yang kedua.
Saudara-saudari yang dikasihi dalam Kristus,
Orang banyak bingung: "Kami telah mendengar dari hukum Taurat, bahwa Mesias tetap hidup selama-lamanya; bagaimana mungkin Engku mengatakan, bahwa Anak Manusia harus ditinggikan? Siapakah Anak Manusia itu?"
Kebingungan mereka menunjukkan kesenjangan antara ekspektasi populer tentang Mesias dan identitas Yesus yang sebenarnya. Mereka mengharapkan seorang raja penakluk yang akan hidup selamanya, bukan seorang penderita yang berbicara tentang kematian.
Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan mereka. Sebaliknya, Ia memberi mereka sebuah peringatan dan panggilan: "Hanya sedikit waktu lagi terang ada di antara kamu. Selama terang itu ada padamu, percayalah kepadanya, supaya kegelapan jangan menguasai kamu... Percayalah kepada terang itu, selama terang itu ada padamu, supaya kamu menjadi anak-anak terang."
Ini adalah panggilan untuk menanggapi Yesus selagi masih ada kesempatan. Waktu-Nya di bumi terbatas. Kesempatan untuk percaya tidak akan berlangsung selamanya.
Apa makna perikop ini bagi kita hari ini?
Pertama, ini mengingatkan kita bahwa jalan menuju kemuliaan adalah melalui pengorbanan. Seperti biji gandum, kita dipanggil untuk "mati" terhadap keinginan egois kita agar dapat menghasilkan buah bagi Kerajaan Allah. Pertanyaannya: apakah kita rela berkorban—waktu, energi, kenyamanan, ambisi, bahkan impian kita—demi Kristus dan Injil? Apakah kita lebih mementingkan "mencintai nyawa" atau melayani Kristus?
Kedua, ini mengajarkan kita tentang kemuliaan sejati. Dunia mendefinisikan kemuliaan dalam hal kekuasaan, kekayaan, dan pengaruh. Yesus mendefinisikan kemuliaan dalam hal ketaatan, pengorbanan, dan pelayanan. Kemuliaan-Nya ditemukan bukan di atas takhta tetapi di salib. Bagaimana ini mengubah pemahaman kita tentang "sukses" dalam hidup Kristen?
Ketiga, ini mengingatkan kita tentang urgensi. "Hanya sedikit waktu lagi terang ada di antara kamu," kata Yesus. Kita hidup dalam jendela kesempatan yang terbatas. Kesempatan untuk bertobat, untuk percaya, untuk melayani, untuk bersaksi—tidak selamanya tersedia. Apakah kita menggunakan waktu kita dengan bijak?
Keempat, ini menegaskan jangkauan universal Injil. Kedatangan orang-orang Yunani menandakan bahwa Injil melampaui batas-batas etnis, budaya, dan geografis. Yesus mati tidak hanya untuk Israel tetapi untuk "menarik semua orang" kepada-Nya. Ini menegaskan mandat misi kita untuk membawa kabar baik kepada segala bangsa.
Kelima, ini memberikan harapan di tengah penderitaan. Jika kematian Yesus menghasilkan buah yang berlimpah, mungkinkah penderitaan kita juga memiliki tujuan? Mungkinkah tantangan yang kita hadapi adalah "biji gandum" yang, jika kita serahkan kepada Allah, dapat menghasilkan kehidupan baru dan buah rohani? Romawi 8:28 mengingatkan kita bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya.
Saudara-saudari terkasih, hari ini kita telah merenungkan bagaimana Yesus memberitakan kematian-Nya—bukan sebagai kekalahan, tetapi sebagai jalan menuju kemuliaan dan kehidupan.
Salib bukanlah akhir cerita, tetapi pintu gerbang menuju kebangkitan. Kematian adalah jalan menuju kehidupan. Penyangkalan diri adalah kunci untuk menemukan diri kita yang sejati.
Seperti biji gandum, kita dipanggil untuk "jatuh ke tanah dan mati"—mati terhadap keinginan kita, ambisi kita, ego kita—agar Allah dapat menghasilkan buah melalui kita. Ini adalah panggilan yang menantang, tetapi juga penuh dengan janji: "Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa."
Mari kita menanggapi panggilan Yesus untuk percaya kepada-Nya sebagai Terang dunia, untuk mengikuti jalan salib, dan untuk menemukan kehidupan sejati melalui ketaatan dan pengorbanan.
Amin.